Jenis alat musik angklung diakui secara internasional oleh UNESCO sejak 11 November tahun lalu. Atas dasar alasan itulah KBRI (Kedutaan Besar RI) di Washington D.C. menggelar acara kolosal, yakni mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk bermain angklung bersama Sabtu pekan lalu (9/7). Diharapkan acara tersebut dapat memecahkan rekor dunia untuk kategori pergelaran angklung dengan pemain terbanyak (The Largest Angklung Ensemble).
Acara itu pun sukses. Sore itu alat musik dari bambu tersebut dimainkan oleh lebih dari 5.100 orang. Prestasi ini lantas diakui dan dicatat oleh Guinness World Records.
Perhelatan yang dilaksanakan di lapangan utara Washington Monument (hanya berjarak beberapa blok dari Gedung Putih) itu merupakan puncak acara dari Festival Indonesia yang diselenggarakan KBRI Washington D.C. bekerja sama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Salah seorang sosok penting yang sangat berperan dalam pemecahan rekor dunia itu adalah Daeng Udjo. Dia adalah putra legenda angklung Indonesia, Mang Udjo. Laki-laki 46 tahun itu sengaja didatangkan secara khusus dari Indonesia untuk memimpin pemecahan rekor. Dia juga yang bertanggung jawab membuat 5.117 angklung yang dibagikan kepada seluruh peserta. Daeng Udjo mengaku menghabiskan waktu 1,5 bulan untuk memproduksi ribuan angklung tersebut di Bandung.
Sebelum acara pemecahan rekor dilakukan, sekitar 30 menit Daeng Udjo melatih secara masal para pemain dari beragam usia dan ras itu. Caranya melatih pun cukup unik dan praktis. Yakni, hanya dengan menggunakan aba-aba satu tangan. Sebelumnya, ribuan angklung yang dibagikan kepada peserta tersebut sudah diberi kode berupa gambar tangan dalam berbagai formasi.
Misalnya, formasi tangan mengepal untuk nada do, tangan menelungkup untuk nada re, acungan jempol untuk nada mi, dan seterusnya hingga nada si. Karena itu, para pemain hanya melihat apa formasi tangan yang diberikan oleh Daeng Udjo yang berdiri di panggung setinggi kurang lebih 1,5 meter. Dia bertindak sebagai dirijen. Agar peserta lebih jelas melihat formasi tangan sang dirijen, panitia memasang dua layar superbesar di kanan-kiri panggung.
Selain diberi kode gambar formasi tangan, angklung-angklung tersebut dinamai dengan nama-nama pulau di Indonesia. Misalnya, Kalimantan, Jawa, Sumatera, Bali, dan Sulawesi. Dengan demikian, ketika Daeng Udjo menyebut kata Sumatera, hanya angklung yang berkode Sumatera yang berbunyi. "Kode nama pulau itu hanya saya pakai untuk mengabsen dan memastikan bahwa semua nada sudah terdistribusi secara merata," kata Udjo.
Selanjutnya, Udjo lebih banyak menggunakan formasi tangan untuk mengomando para pemain angklung dadakan tersebut. Begitu musik angklung mulai mengalun, beberapa orang terlihat terkesima dengan keunikannya. Salah satunya Donald Hess, 62, yang jauh-jauh hari sudah mendaftar sebagai peserta lewat situs KBRI.
Donald mengaku baru pertama memegang angklung. Namun, laki-laki asal Virginia tersebut mengaku cukup senang karena bisa langsung memainkan lagu bersama ribuan peserta lain. "Alat musik ini cukup sederhana, tapi bisa menyatukan banyak orang," kata Donald.
Lain lagi pendapat Lissie New. Perempuan asal Peru tersebut mengaku tertarik dengan bunyi yang dihasilkan alat musik bambu itu. Karena itu, begitu melintas di sekitar tempat acara, dia langsung tertarik dan memutuskan untuk bergabung. Peserta dadakan seperti Lissie inilah yang membuat jumlah peserta melonjak tajam saat acara baru dimulai.
Peserta yang lain, Mayco Santaella, 34, mempunyai alasan khusus. Pria asal Massachusetts itu merasa ada ikatan emosional begitu mendengar kata Indonesia. "Terus terang, saya penasaran dengan orkestra angklung ini," kata Santaella.
Untuk mengumpulkan ribuan orang, pihak KBRI memang membuka pendaftaran dua bulan sebelum hari H. Namun, upaya itu tampaknya kurang efektif. Sebab, berdasar keterangan panitia, hingga satu jam sebelum acara dimulai, jumlah peserta baru 1.900 orang. Padahal, target yang ditetapkan adalah lima ribu orang. Ini juga yang membuat Daeng Udjo khawatir tidak bisa memecahkan rekor dunia.
“Mendatangkan 5 ribu orang secara bersamaan memang tidak mudah. Saya hanya menunggu keajaiban untuk memecahkan rekor tersebut," kata Udjo yang ditemui sebelum acara.
Benar saja. Bunyi khas angklung memang menjadi magnet yang mampu menarik perhatian massa. Begitu geladi bersih dilakukan dengan memainkan lagu Country Roads-nya John Denver dan Home on the Range yang dipopulerkan Bing Crosby, ribuan orang tambahan mulai menyemut.
Aliran massa itu terlihat jelas dari kawasan di sekitar Washington Monument. Sebab, tidak jauh dari tempat acara juga digelar festival budaya untuk negara-negara Amerika Latin. Massa yang awalnya tersebar di stan-stan negara Amerika Latin itu berduyun-duyun mendatangi sumber bunyi yang unik dari angklung. Demikian juga para pengunjung museum yang berada di sekitar tempat acara. Banyak dari mereka yang kemudian bergabung untuk memainkan alat musik khas Sunda tersebut.
Sebelum peserta memasuki arena seluas lapangan bola tersebut, panitia membagikan angklung. Selain itu, panitia membagikan udheng khas Bali untuk peserta pria dan syal batik untuk peserta perempuan.
Terik matahari yang sore itu mencapai 33 derajat Celsius ternyata tidak menyurutkan antusiasme peserta untuk bergabung di tengah lapangan. Semakin sore massa terlihat semakin berjubel memenuhi lapangan yang hanya berpagar sementara itu.
Tepat pukul 17.15 waktu setempat pemecahan rekor dilakukan. Total ada tiga lagu yang dimainkan dengan angklung sore itu, yakni We Are the World, Country Road, dan Home on the Range. Alunan angklung tersebut terdengar semakin apik saat ditimpali vokal dari Elfa’s Singers. Saat mengiringi Elfa’s Singers inilah kemudian dicatat oleh Guinness World Records sebagai rekor dunia pergelaran angklung dengan pemain terbanyak (The Largest Angklung Ensemble).
Bahkan, ribuan peserta yang mulai asyik dengan alat musik dari bambu itu meminta pergelaran dilanjutkan. Mereka tidak puas hanya dengan memainkan tiga lagu. Tanpa dikomando mereka membunyikan angklung secara serentak sambil meneriakkan kata more... more... more... more...
Sang dirijen pun tidak berkutik. Setelah berunding dengan duta besar dan perwakilan dari Guinness World Record, pergelaran kolosal tersebut dilanjutkan dengan memainkan kembali lagu We Are the World.
Selain Elfa’s Singer, panitia mendatangkan Air Supply, Balawan, Sherina, dan Denada untuk memeriahkan Festival Indonesia. Di antara ribuan peserta tersebut tampak hadir mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan aktris Christine Hakim.
Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal menyatakan bahwa pemecahan rekor tersebut sebagai bentuk apresiasi Indonesia terhadap multikulturalisme. Selain itu, acara tersebut untuk mengenalkan kekayaan budaya di Indonesia. Salah satunya angklung yang sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu warisan dunia.
“Lewat acara ini kami ingin menduniakan Indonesia dan membangkitkan rasa percaya diri pada budaya Indonesia," kata Dino. Duta besar termuda itu juga menyatakan bahwa untuk menggelar acara sebesar itu, pihak KBRI hanya mengeluarkan sedikit dana. Namun, Dino enggan menyebut angka pastinya. KBRI mendapatkan banyak dukungan dari BKPM dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Selengkapnya...
Salah seorang sosok penting yang sangat berperan dalam pemecahan rekor dunia itu adalah Daeng Udjo. Dia adalah putra legenda angklung Indonesia, Mang Udjo. Laki-laki 46 tahun itu sengaja didatangkan secara khusus dari Indonesia untuk memimpin pemecahan rekor. Dia juga yang bertanggung jawab membuat 5.117 angklung yang dibagikan kepada seluruh peserta. Daeng Udjo mengaku menghabiskan waktu 1,5 bulan untuk memproduksi ribuan angklung tersebut di Bandung.
Sebelum acara pemecahan rekor dilakukan, sekitar 30 menit Daeng Udjo melatih secara masal para pemain dari beragam usia dan ras itu. Caranya melatih pun cukup unik dan praktis. Yakni, hanya dengan menggunakan aba-aba satu tangan. Sebelumnya, ribuan angklung yang dibagikan kepada peserta tersebut sudah diberi kode berupa gambar tangan dalam berbagai formasi.
Misalnya, formasi tangan mengepal untuk nada do, tangan menelungkup untuk nada re, acungan jempol untuk nada mi, dan seterusnya hingga nada si. Karena itu, para pemain hanya melihat apa formasi tangan yang diberikan oleh Daeng Udjo yang berdiri di panggung setinggi kurang lebih 1,5 meter. Dia bertindak sebagai dirijen. Agar peserta lebih jelas melihat formasi tangan sang dirijen, panitia memasang dua layar superbesar di kanan-kiri panggung.
Selain diberi kode gambar formasi tangan, angklung-angklung tersebut dinamai dengan nama-nama pulau di Indonesia. Misalnya, Kalimantan, Jawa, Sumatera, Bali, dan Sulawesi. Dengan demikian, ketika Daeng Udjo menyebut kata Sumatera, hanya angklung yang berkode Sumatera yang berbunyi. "Kode nama pulau itu hanya saya pakai untuk mengabsen dan memastikan bahwa semua nada sudah terdistribusi secara merata," kata Udjo.
Selanjutnya, Udjo lebih banyak menggunakan formasi tangan untuk mengomando para pemain angklung dadakan tersebut. Begitu musik angklung mulai mengalun, beberapa orang terlihat terkesima dengan keunikannya. Salah satunya Donald Hess, 62, yang jauh-jauh hari sudah mendaftar sebagai peserta lewat situs KBRI.
Donald mengaku baru pertama memegang angklung. Namun, laki-laki asal Virginia tersebut mengaku cukup senang karena bisa langsung memainkan lagu bersama ribuan peserta lain. "Alat musik ini cukup sederhana, tapi bisa menyatukan banyak orang," kata Donald.
Lain lagi pendapat Lissie New. Perempuan asal Peru tersebut mengaku tertarik dengan bunyi yang dihasilkan alat musik bambu itu. Karena itu, begitu melintas di sekitar tempat acara, dia langsung tertarik dan memutuskan untuk bergabung. Peserta dadakan seperti Lissie inilah yang membuat jumlah peserta melonjak tajam saat acara baru dimulai.
Peserta yang lain, Mayco Santaella, 34, mempunyai alasan khusus. Pria asal Massachusetts itu merasa ada ikatan emosional begitu mendengar kata Indonesia. "Terus terang, saya penasaran dengan orkestra angklung ini," kata Santaella.
Untuk mengumpulkan ribuan orang, pihak KBRI memang membuka pendaftaran dua bulan sebelum hari H. Namun, upaya itu tampaknya kurang efektif. Sebab, berdasar keterangan panitia, hingga satu jam sebelum acara dimulai, jumlah peserta baru 1.900 orang. Padahal, target yang ditetapkan adalah lima ribu orang. Ini juga yang membuat Daeng Udjo khawatir tidak bisa memecahkan rekor dunia.
“Mendatangkan 5 ribu orang secara bersamaan memang tidak mudah. Saya hanya menunggu keajaiban untuk memecahkan rekor tersebut," kata Udjo yang ditemui sebelum acara.
Benar saja. Bunyi khas angklung memang menjadi magnet yang mampu menarik perhatian massa. Begitu geladi bersih dilakukan dengan memainkan lagu Country Roads-nya John Denver dan Home on the Range yang dipopulerkan Bing Crosby, ribuan orang tambahan mulai menyemut.
Aliran massa itu terlihat jelas dari kawasan di sekitar Washington Monument. Sebab, tidak jauh dari tempat acara juga digelar festival budaya untuk negara-negara Amerika Latin. Massa yang awalnya tersebar di stan-stan negara Amerika Latin itu berduyun-duyun mendatangi sumber bunyi yang unik dari angklung. Demikian juga para pengunjung museum yang berada di sekitar tempat acara. Banyak dari mereka yang kemudian bergabung untuk memainkan alat musik khas Sunda tersebut.
Sebelum peserta memasuki arena seluas lapangan bola tersebut, panitia membagikan angklung. Selain itu, panitia membagikan udheng khas Bali untuk peserta pria dan syal batik untuk peserta perempuan.
Terik matahari yang sore itu mencapai 33 derajat Celsius ternyata tidak menyurutkan antusiasme peserta untuk bergabung di tengah lapangan. Semakin sore massa terlihat semakin berjubel memenuhi lapangan yang hanya berpagar sementara itu.
Tepat pukul 17.15 waktu setempat pemecahan rekor dilakukan. Total ada tiga lagu yang dimainkan dengan angklung sore itu, yakni We Are the World, Country Road, dan Home on the Range. Alunan angklung tersebut terdengar semakin apik saat ditimpali vokal dari Elfa’s Singers. Saat mengiringi Elfa’s Singers inilah kemudian dicatat oleh Guinness World Records sebagai rekor dunia pergelaran angklung dengan pemain terbanyak (The Largest Angklung Ensemble).
Bahkan, ribuan peserta yang mulai asyik dengan alat musik dari bambu itu meminta pergelaran dilanjutkan. Mereka tidak puas hanya dengan memainkan tiga lagu. Tanpa dikomando mereka membunyikan angklung secara serentak sambil meneriakkan kata more... more... more... more...
Sang dirijen pun tidak berkutik. Setelah berunding dengan duta besar dan perwakilan dari Guinness World Record, pergelaran kolosal tersebut dilanjutkan dengan memainkan kembali lagu We Are the World.
Selain Elfa’s Singer, panitia mendatangkan Air Supply, Balawan, Sherina, dan Denada untuk memeriahkan Festival Indonesia. Di antara ribuan peserta tersebut tampak hadir mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan aktris Christine Hakim.
Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal menyatakan bahwa pemecahan rekor tersebut sebagai bentuk apresiasi Indonesia terhadap multikulturalisme. Selain itu, acara tersebut untuk mengenalkan kekayaan budaya di Indonesia. Salah satunya angklung yang sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu warisan dunia.
“Lewat acara ini kami ingin menduniakan Indonesia dan membangkitkan rasa percaya diri pada budaya Indonesia," kata Dino. Duta besar termuda itu juga menyatakan bahwa untuk menggelar acara sebesar itu, pihak KBRI hanya mengeluarkan sedikit dana. Namun, Dino enggan menyebut angka pastinya. KBRI mendapatkan banyak dukungan dari BKPM dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.